Translate

Mengapa Kwan Kong Kalah di Maicheng? (2)

Kwan Kong / Guan Yu




Baca : Mengapa Kwan Kong Kalah di Maicheng? Bagian I


Sebagian dari generasi sekarang ada yang menganggap kekalahan Kwan Kong lantaran Zhuge Liang tidak mau menolong dan ada udang di balik batu. Penulis beranggapan, kesimpulan itu terlalu dipaksakan dan dibuat-buat, sama sekali tidak masuk akal.

Jika Zhuge Liang benar-benar berniat menyingkirkan Kwan Kong, ia tidak bakal merencanakan strategi bagi Kwan Kong, yakni menangkal Cao Cao di Utara, berdamai dengan Sun Quan di Timur. Dari sini nampak Zhuge Liang benar-benar berharap Kwan Kong bisa menjaga Jinzhou dan memberikan kontribusi bagi persatuan tanah air. Selain itu, Liu Bei, raja Negara Shu, merupakan kakak angkat Kwan Kong dan jalinan persaudaraan mereka sangat erat.

Padahal Liu Feng adalah anak angkat Liu Bei. Lantaran tidak mau mengirim pasukan bala bantuan kepada Kwan Kong maka dihukum mati, sedangkan Meng Da yang bersama Liu Feng menjaga wilayah Shang Yong berbalik memberontak karena takut dimintai pertanggung-jawaban.

Secara permukaan faktor kekalahan Kwan Kong terletak pada kesombongan, tapi faktor lebih mendalam terletak pada takdir di tengah misteri kehidupan. Karena dari sisi spiritualitas, tingkatan Kwan Kong berada jauh di atas Xu Huang dan Lu Meng, dan dalam ilmu kesusasteraan maupun strategi militer Kwan Kong jelas di atas musuh-musuhnya. Namun, peribahasa mengatakan: “Semua usaha manusia ditentukan oleh Tuhan.” Betapapun hebatnya Zhuge Liang, yang nyaris dapat memprediksi segala sesuatu dengan tepat, pada akhirnya pun tidak berhasil mempersatukan tanah air.

Kehendak Tuhan dalamnya tak terukur, manusia selamanya tidak dapat berebut keunggulan dengan Tuhan. Jika dikatakan konfigurasi Tiga Negara adalah suatu pengaturan Tuhan yang tidak bisa dikacaukan, maka kecerdasan Zhuge Liang dan keberanian Kwan Kong juga tidak mampu menandingi takdir Tuhan.

Dalam kisah Sam Kok pada bab 103, dikisahkan berkat Zhuge Liang memeras otak dan merancang dengan cermat dan berhasil memancing Sima Yi (panglima Negara Wei) beserta anaknya masuk ke dalam lembah Shangfang, serta menutup mulut lembah dengan kayu bakar kering yang kemudian dihujani dengan panah api ditambah ranjau. Pasukan Wei dan Sima Yi berserta anaknya terjebak dan mereka menghadapi bencana terbakar hangus.

Kebetulan saat itu terjadi angin ribut dan turun hujan lebat, api besar di seluruh lembah dipadamkan oleh air hujan lebat tersebut. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sima Yi dan anaknya untuk meloloskan diri dari kepungan, setelah kejadian Zhuge Liang hanya bisa menengadah ke langit, menghela nafas panjang dan berkata: “Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan. Tidak boleh dipaksakan!”

Kehidupan bagai sandiwara, benar-salah sukses-gagal dalam sekejap menjadi hampa

Karena Kwan Kong adalah jenderal tangguh yang mengagumkan, setia dan gagah berani, maka buku sejarah dari zaman dulu hingga kini menilainya dengan sangat tinggi. “Monumen Kuil Raja Kwan” yang dibuat oleh Fang Xiaoru (cendekiawan, sastrawan, eseis, filsuf dan pejabat tinggi dari Dinasti Ming) menyebutkan: “Kematian Kwan Kong hingga kini sudah ribuan tahun berlalu, penduduk di tempat terpencil, orang tua hingga anak-anak pun tahu dan respek terhadapnya, segan akan kewibawaannya, selalu terkenang kehebatannya.”

Dipandang dari masa sejarah yang sangat panjang, kehidupan manusia bagaikan sandiwara, sandiwara bagaikan kehidupan manusia. Tidak peduli bagaimana manusia mengejar ketenaran dan kekayaan, setelah mati, semua hanyalah kosong belaka, pahlawan sebesar apapun juga sangat sulit meninggalkan sesuatu. Keberhasilan atau kegagalan di mata dunia setelah digelontor oleh sang waktu, akhirnya semua itu hanyalah ‘kehampaan’.

Sebuah syair kecil yang ditulis di depan pembukaan cerita Sam Kok oleh pengarang Luo Guanzhong, adalah syair Lin Jiang Xian (Dihadapan Dewa Sungai) karya Yang Shen sebagai berikut:

Air Sungai Yangtse bergulung berlalu menuju timur, buih ombak mendulang habis para pahlawan.

Benar dan salah, berhasil maupun gagal, dalam sekejap menjadi hampa.

Gunung hijau bergeming, mentari senja merah tak pernah berubah.

Nelayan beruban di atas delta, sudah terbiasa menyaksikan rembulan musim gugur dan angin musim semi.

Satu teko arak keruh bersukaria atas perjumpaan kembali.

Berapa banyak masalah dari zaman kuno hingga kini, dibahas tuntas dalam canda dan tawa.

Ada berapa banyak pendekar, ksatria dan orang termasyur yang memiliki pahala dan jasa amat besar dalam sejarah, dihadapan materi dan pemandangan abadi, semuanya nampak singkat, sementara dan hampa. Tak salah jika Su Dongpo (dibaca: su tung bou 1037–1101 M, sastrawan, penyair, pelukis, kaligrafi zaman Dinasti Song) berkata: “Sungai besar mengalir ke timur, ombak menyaring tuntas para tokoh besar abadi.” Li Bai (dibaca: li pai, 701-762 M, penyair dari zaman Dinasti Tang) berdendang: “Sejak dahulu orang arif bijaksana selalu kesepian, hanya penikmat arak yang bisa meninggalkan nama.”

Malahan si nelayan tua di atas sungai yang leluasa berpikir terbuka dan bebas, bahkan bisa mencapai taraf “ada berapa banyak masalah dari zaman kuno hingga kini, semuanya dibahas tuntas dalam canda dan tawa”. Dimasa lalu para jenderal menunggang kuda, berperang dan menumpahkan darah, tapi ia malah bisa minum satu teko arak keruh dengan santai, usai makan dan minum berbicara kesana-kemari tentang zaman dahulu hingga kini.

Hanya dengan memahami secara gamblang makna sebenarnya kehidupan “benar dan salah, berhasil maupun gagal dalam sekejap menjadi hampa”, baru bisa melepas rasa bersaing yang memperebutkan nama dan kekayaan. Baru bisa dengan hati yang benar-benar tenang menengadahkan kepala melihat langit, memandang awan dan mendengarkan hujan, dengan wajah tersenyum menyambut rembulan musim gugur dan angin di musim semi. Baru bisa mencapai taraf spirit berpikiran terbuka dan bebas, seperti nelayan tua yang berada di atas sungai itu, “ada berapa banyak masalah dari dahulu hingga sekarang, semuanya dijadikan bahan cerita dengan santai”.

Read more: Mengapa Kwan Kong Kalah di Maicheng? (2) | Mike Portal